Memberikan susu formula selama keadaan darurat seperti pada saat bencana alam bisa berbahaya. Peringatan ini dikeluarkan United Nations Children's Fund (UNICEF) sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan untuk mengontrol distribusi dan sumbangan susu saat bencana. Untuk itu, Kamis (13/8), di Bekasi, Jawa Barat, UNICEF dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencanangkan Pekan Menyusui Sedunia 2009 untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
"Dalam keadaan normal ataupun darurat, kurang memberi air susu ibu, dan penyajian susu formula yang tidak tepat akan menyebabkan kekurangan gizi, penyakit, bahkan kematian pada anak. Oleh sebab itu para ibu harus didorong agar memberikan ASI pada bayinya, disamping kontrol yang ketat pada susu formula," ujar Angela Kearney, dari UNICEF.
Kesimpulan tersebut didapat dari hasil survei cepat yang dilakukan UNICEF, sebulan setelah terjadinya gempa di Jawa Tengah pada 2006. Hasil survei menunjukkan 80 persen anak-anak berusia kurang dari dua tahun yang diberikan susu formula menderita kolera. Angka ini dua kali lebih banyak dari anak-anak yang tidak mengonsumsi susu formula. Susu formula menjadi berbahaya lantaran air yang digunakan untuk mencampur susu tidak steril dari kuman. Hal ini disebabkan fasilitas yang minim saat berada di pengungsian, sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih atau air matang.
Meski telah mendapat peringatan dari UNICEF, World Health Organization, dan Masyarakat Pediatri Indonesia, kasus tidak terkontrolnya susu yang diberikan saat bencana, dan penyajian susu yang tidak steril masih terus berlanjut. Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman para relawan, ditambah personel kesehatan yang kurang mampu memberikan penyuluhan pada para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.
Di Indonesia, antara tahun 2002 hingga 2007 terdapat penurunan pemberian ASI pada anak di bawah enam bulan, dari 40 persen menjadi 33 persen. Sebaliknya, penyajian susu dengan botol meningkat dari 17 persen menjadi 28 persen.
"Dalam keadaan normal ataupun darurat, kurang memberi air susu ibu, dan penyajian susu formula yang tidak tepat akan menyebabkan kekurangan gizi, penyakit, bahkan kematian pada anak. Oleh sebab itu para ibu harus didorong agar memberikan ASI pada bayinya, disamping kontrol yang ketat pada susu formula," ujar Angela Kearney, dari UNICEF.
Kesimpulan tersebut didapat dari hasil survei cepat yang dilakukan UNICEF, sebulan setelah terjadinya gempa di Jawa Tengah pada 2006. Hasil survei menunjukkan 80 persen anak-anak berusia kurang dari dua tahun yang diberikan susu formula menderita kolera. Angka ini dua kali lebih banyak dari anak-anak yang tidak mengonsumsi susu formula. Susu formula menjadi berbahaya lantaran air yang digunakan untuk mencampur susu tidak steril dari kuman. Hal ini disebabkan fasilitas yang minim saat berada di pengungsian, sehingga warga kesulitan mendapatkan air bersih atau air matang.
Meski telah mendapat peringatan dari UNICEF, World Health Organization, dan Masyarakat Pediatri Indonesia, kasus tidak terkontrolnya susu yang diberikan saat bencana, dan penyajian susu yang tidak steril masih terus berlanjut. Penyebabnya adalah kurangnya pemahaman para relawan, ditambah personel kesehatan yang kurang mampu memberikan penyuluhan pada para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.
Di Indonesia, antara tahun 2002 hingga 2007 terdapat penurunan pemberian ASI pada anak di bawah enam bulan, dari 40 persen menjadi 33 persen. Sebaliknya, penyajian susu dengan botol meningkat dari 17 persen menjadi 28 persen.
0 comments:
Post a Comment